Oleh Mimid Anggi*)
Seorang
tokoh politik dan filsuf Italia, Antonio Gramsci, mengatakan “Semua manusia
adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi
intelektual.” Jika menelaah kalimat tersebut dapat ditafsirkan bahwa setiap
manusia telah diberkahi anugrah berupa intelektual pada dirinya, namun tidak banyak yang bisa
memanfaatkannya sebaik intelektual yang dimilikinya. Di sinilah peran moral
yang seharusnya diterapkan dalam setiap kepribadian seseorang. Karena sebuah
intelektualitas tanpa dibarengi dengan moralitas bisa hancur. Begitu juga
dengan Negara ini, bila para penghuninya mengesampingkan nilai-nilai etika dan
moralnya, maka Negara bisa kacau.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), intelektual mempunyai arti cerdas,
berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Seorang
intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk membawa dirinya ke arah yang lebih maju
dengan menggunakan pengetahuan yang telah ia miliki. Singkatnya,
intelektualitas ialah pengetahuan yang ada pada otak kita. Tuhan memberikan karunia
yang sangat besar kepada manusia. Tak diragukan lagi betapa sebuah kecerdasan mampu
membawa keuntungan-keuntungan besar kepada manusia itu sendiri. Tengok saja,
dengan intelektualnya, manusia bisa membuat kendaraan menyerupai capung.
Mesin-mesin itu bisa ditaklukkan dengan sebuah kecerdasan sehingga mampu
terbang tinggi dan menempuh jarak ribuan kilometer hanya dalam beberapa jam.
Sedangkan
moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia lainnya dalam tindakan yang
memiliki nilai positif. Moralitas mencakup tentang baik-buruknya perbuatan
manusia (W. Poespoprojo, 1998: 18). Secara umum, moral dapat diartikan sebagai
batasan pikiran, prinsip, perasaan, ucapan dan perilaku manusia tentang
nilai-nilai baik dan buruk. Di era modern ini, moralitas seakan tenggelam
ditelan kemajuan intelektualitas. Perilaku para pemimipin bangsa yang semakin amburadul, tak karuan adalah suatu bukti
kemerosotan moral di masa kini. Sikap pelajar, mahasiswa dan masyarakat yang
semakin anarkis menunjukkan betapa terkikis sudah karakter sebagai insan yang
intelek.
Orang-orang
yang menduduki kursi-kursi tertinggi di Negara ini bukanlah orang-orang yang
yang tidak memiliki intelektualitas. Mereka pernah mengenyam bangku pendidikan
di perguruan tinggi. Sehingga pendidikan itu mampu membawa manusia yang cerdas
(yang mempunyai daya intelek). Mereka diharapkan untuk dapat memimpin rakyat
dengan seyogyanya, yakni mampu melindungi, mensejahterahkan, serta memberi
teladan yang baik. Namun betapa sering kita melihat berita para pemimpin bangsa
yang tersandung kasus-kasus yang memalukan. Para oknum pejabat Negara, hakim,
DPR, Polisi, dan lain-lainnya adalah manusia-manusia yang memiliki
intelektualitas. Namun intelek mereka tidak diimbangi dengan langkah kaki yang
beretika. Seperti kata Suwijo Tejo dalam wayang durangpo-nya “Orang-orang
sekarang terlalu memuliakan kepala. Keagungan kaki mereka lupakan. Terlalu
banyak teori dan diskusi. Tapi langkah dan sepak terjal mereka nol.”
Dari
media televisi maupun media lainnya, hampir setiap hari kita disuguhkan berita
tentang oknum-oknum pemerintah yang membuat hati miris. Begitu banyak kasus
yang diungkap oleh media tentang perilaku para pemimpin bangsa kita saat ini.
Mulai dari kasus skandal video mesum, pelecehan seksual yang dilakukan oleh
oknum pejabat Badan Pertahanan Nasional (BPN), kasus suap hakim, kasus kredit
fiktif, dan yang sangat tak asing di telinga kita yakni kasus korupsi. Mulai
dari kasus century, hambalang, sampai skandal suap import daging sapi. Riset
tahun 2009-2010 saja menunjukkan bahwa Indeks persentase korupsi (IPK) di
Indonesia cukup besar bila dibandingkan dengan Negara Asia lainnya, yakni
sekitar 2,8 %. Apalagi riset tahun-tahun ini. Bisa jadi IPK Negara kita semakin
tinggi.
Itulah
bukti ketimpangan intelektualitas terhadap moralitas. Sebagai public figure, seharusnya mereka mampu
menggunakan kecerdasannya demi kepentingan rakyat. Namun moralitas mereka ternyata
tidak selaras dengan intelektualitas yang mereka miliki. Sungguh sangat disayangkan,
pendidikan yang telah mereka tempuh selama belasan tahun hanya dibayar untuk
memuaskan diri sendiri dengan cara yang tidak lazim. Padahal sebelum menjadi
pejabat mereka disumpah di atas kitab suci agamanya masing-masing. Namun
layaknya sudah menjadi hal biasa bahwa sebuah peraturan ada untuk dilanggar.
Sumpah jabatan hanya dijadikan formalitas belaka oleh oknum pejabat daerah
maupun pusat.
Budaya
malu yang semakin terkikis membuat mereka semakin berani melakukan pelanggaran
hukum. Ditambah lagi aksi pemerintah yang dinilai kurang menindak tegas para
pelaku sehingga mengakibatkan kecemburuan sosial pada masyarakat. Betapa
seorang koruptor terpenjara dalam sebuah ruangan yang dilengkapi fasilitas. Di
mana etika keadilan itu? Masyarakat sungguh mempertanyakannya. Masyarakat
benar-benar mempertanyakan moralitas pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
Banyaknya
kasus-kasus yang melekat pada oknum-oknum pejabat membuat pemerintah begitu
sibuk mengurusi kasus-kasus tersebut. Sehingga terkesan mengabaikan rakyat dan
anak didik generasi bangsa. Rakyat merasa dipermainkan dan pelajar merasa tak
diperhatikan. Sehingga sering kali ditemukan tawuran antar pelajar di berbagai
sekolah. Ini menjadi bukti bahwa pendidikan yang terlalu menekankan
intelektualitas dengan mengabaikan moralitas sudah seharusnya dikaji ulang. Negara
semakin bobrok dengan tergerusnya moralitas yang seharusnya melekat pada setiap
pribadi penduduk Indonesia. Sudah selakyanya pemerintah menerapkan sistem
pendidikan karakter di Indonesia. Sehingga pelajar mampu mengimbangi
intelektualitas dengan moralitas mereka. Terlebih saat mereka kelak menjadi
pemimpin bangsa, diharapkan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih maju;
menjadi pemimpin yang memiliki intelektualitas dan pribadi yang bermoral.
*)Mimid
Anggi, Aktivis di Gerakan IAIN Sunan Ampel Menulis (GISAM) dan
Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya
0 comments :
Post a Comment
Write your comments down