Pages

Donna Donna



by  Donovan
(from Catch The Wind, 1965)

 
intro   Am  E   4x


Am   E     Am         E     Am           Dm          Am   E   Am   
On a wagon bound for market    there's a calf with a mournful eye
Am    E        Am        E       Am         Dm      Am      E   Am
High above him there's a swallow    winging swiftly through the sky

C                   Am        G                         Am    
  All the winds are laughing, they laugh with all their might
C                    Am                             E       Am
  Love and laugh the whole day through and half the summers night


E                 Am     Dm                Am
Donna Donna Donna Donna, Donna Donna Donna Don
E                 Am                 E     Am  E  Am  E
Donna Donna Donna Donna, Donna Donna Donna Don


"Stop complaining" said the farmer, "Who told you what had to be?
Why can’t you have wings to fly with, like the swallow, so proud and free?"


Calves are easily bound and slaughtered never knowing the reason why
Why can't you have wings to fly with like the swallow you've learned to fly

outro   Am  E

Antara Intelektualitas dan Moralitas


Dimuat di koran Duta Masyarat, 22 Mei 2013.


Oleh Mimid Anggi*)
Seorang tokoh politik dan filsuf Italia, Antonio Gramsci, mengatakan “Semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual.” Jika menelaah kalimat tersebut dapat ditafsirkan bahwa setiap manusia telah diberkahi anugrah berupa intelektual  pada dirinya, namun tidak banyak yang bisa memanfaatkannya sebaik intelektual yang dimilikinya. Di sinilah peran moral yang seharusnya diterapkan dalam setiap kepribadian seseorang. Karena sebuah intelektualitas tanpa dibarengi dengan moralitas bisa hancur. Begitu juga dengan Negara ini, bila para penghuninya mengesampingkan nilai-nilai etika dan moralnya, maka Negara bisa kacau.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), intelektual mempunyai arti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Seorang intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk  membawa dirinya ke arah yang lebih maju dengan menggunakan pengetahuan yang telah ia miliki. Singkatnya, intelektualitas ialah pengetahuan yang ada pada otak kita. Tuhan memberikan karunia yang sangat besar kepada manusia. Tak diragukan lagi betapa sebuah kecerdasan mampu membawa keuntungan-keuntungan besar kepada manusia itu sendiri. Tengok saja, dengan intelektualnya, manusia bisa membuat kendaraan menyerupai capung. Mesin-mesin itu bisa ditaklukkan dengan sebuah kecerdasan sehingga mampu terbang tinggi dan menempuh jarak ribuan kilometer hanya dalam beberapa jam.
Sedangkan moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Moralitas mencakup tentang baik-buruknya perbuatan manusia (W. Poespoprojo, 1998: 18). Secara umum, moral dapat diartikan sebagai batasan pikiran, prinsip, perasaan, ucapan dan perilaku manusia tentang nilai-nilai baik dan buruk. Di era modern ini, moralitas seakan tenggelam ditelan kemajuan intelektualitas. Perilaku para pemimipin bangsa yang semakin amburadul, tak karuan adalah suatu bukti kemerosotan moral di masa kini. Sikap pelajar, mahasiswa dan masyarakat yang semakin anarkis menunjukkan betapa terkikis sudah karakter sebagai insan yang intelek.
Orang-orang yang menduduki kursi-kursi tertinggi di Negara ini bukanlah orang-orang yang yang tidak memiliki intelektualitas. Mereka pernah mengenyam bangku pendidikan di perguruan tinggi. Sehingga pendidikan itu mampu membawa manusia yang cerdas (yang mempunyai daya intelek). Mereka diharapkan untuk dapat memimpin rakyat dengan seyogyanya, yakni mampu melindungi, mensejahterahkan, serta memberi teladan yang baik. Namun betapa sering kita melihat berita para pemimpin bangsa yang tersandung kasus-kasus yang memalukan. Para oknum pejabat Negara, hakim, DPR, Polisi, dan lain-lainnya adalah manusia-manusia yang memiliki intelektualitas. Namun intelek mereka tidak diimbangi dengan langkah kaki yang beretika. Seperti kata Suwijo Tejo dalam wayang durangpo-nya “Orang-orang sekarang terlalu memuliakan kepala. Keagungan kaki mereka lupakan. Terlalu banyak teori dan diskusi. Tapi langkah dan sepak terjal mereka nol.”
Dari media televisi maupun media lainnya, hampir setiap hari kita disuguhkan berita tentang oknum-oknum pemerintah yang membuat hati miris. Begitu banyak kasus yang diungkap oleh media tentang perilaku para pemimpin bangsa kita saat ini. Mulai dari kasus skandal video mesum, pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum pejabat Badan Pertahanan Nasional (BPN), kasus suap hakim, kasus kredit fiktif, dan yang sangat tak asing di telinga kita yakni kasus korupsi. Mulai dari kasus century, hambalang, sampai skandal suap import daging sapi. Riset tahun 2009-2010 saja menunjukkan bahwa Indeks persentase korupsi (IPK) di Indonesia cukup besar bila dibandingkan dengan Negara Asia lainnya, yakni sekitar 2,8 %. Apalagi riset tahun-tahun ini. Bisa jadi IPK Negara kita semakin tinggi.
Itulah bukti ketimpangan intelektualitas terhadap moralitas. Sebagai public figure, seharusnya mereka mampu menggunakan kecerdasannya demi kepentingan rakyat. Namun moralitas mereka ternyata tidak selaras dengan intelektualitas yang mereka miliki. Sungguh sangat disayangkan, pendidikan yang telah mereka tempuh selama belasan tahun hanya dibayar untuk memuaskan diri sendiri dengan cara yang tidak lazim. Padahal sebelum menjadi pejabat mereka disumpah di atas kitab suci agamanya masing-masing. Namun layaknya sudah menjadi hal biasa bahwa sebuah peraturan ada untuk dilanggar. Sumpah jabatan hanya dijadikan formalitas belaka oleh oknum pejabat daerah maupun pusat.
Budaya malu yang semakin terkikis membuat mereka semakin berani melakukan pelanggaran hukum. Ditambah lagi aksi pemerintah yang dinilai kurang menindak tegas para pelaku sehingga mengakibatkan kecemburuan sosial pada masyarakat. Betapa seorang koruptor terpenjara dalam sebuah ruangan yang dilengkapi fasilitas. Di mana etika keadilan itu? Masyarakat sungguh mempertanyakannya. Masyarakat benar-benar mempertanyakan moralitas pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
Banyaknya kasus-kasus yang melekat pada oknum-oknum pejabat membuat pemerintah begitu sibuk mengurusi kasus-kasus tersebut. Sehingga terkesan mengabaikan rakyat dan anak didik generasi bangsa. Rakyat merasa dipermainkan dan pelajar merasa tak diperhatikan. Sehingga sering kali ditemukan tawuran antar pelajar di berbagai sekolah. Ini menjadi bukti bahwa pendidikan yang terlalu menekankan intelektualitas dengan mengabaikan moralitas sudah seharusnya dikaji ulang. Negara semakin bobrok dengan tergerusnya moralitas yang seharusnya melekat pada setiap pribadi penduduk Indonesia. Sudah selakyanya pemerintah menerapkan sistem pendidikan karakter di Indonesia. Sehingga pelajar mampu mengimbangi intelektualitas dengan moralitas mereka. Terlebih saat mereka kelak menjadi pemimpin bangsa, diharapkan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih maju; menjadi pemimpin yang memiliki intelektualitas dan pribadi yang bermoral.

*)Mimid Anggi, Aktivis di Gerakan IAIN Sunan Ampel Menulis (GISAM) dan Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya